Rabu, 21 Oktober 2009

Sahara di Masa Lalu

David Mattingly memimpin sekelompok akademisi dalam Proyek Migrasi Gurun Pasir yang kegiatannya membawa kita ke masa prasejarah. Mereka adalah para penjelajah waktu yang menggunakan kendaraan berpenggerak empat roda untuk mengarungi Sahara, mencari jejak-jejak para pendahulu kita. Dengan ban khusus yang dikempeskan agar lebih mencengkeram tanah, mereka menaklukkan bukit-bukit pasir setinggi hingga 30-an meter. Mereka telah membuka jalan yang sepenuhnya baru dalam melihat gurun ini.

Di Libya barat daya, ada sebuah kawasan bernama Fezzan yang menjadi jantung kehidupan Sahara. Fezzan tak bisa dicapai, dipenuhi lautan pasir, aliran anak-anak sungai, pegunungan, dataran tinggi, oase, dan misteri. Antara tahun 500 SM dan 500 Masehi, diperkirakan 100.000 orang bertani dan berkembang di sini, di sebuah areal yang hanya menerima paling banyak beberapa sentimeter curah hujan dalam setahun di samping tak sedikit tahun yang dilewati tanpa setetes hujan pun.

”Itu adalah jumlah manusia yang sangat banyak bagi bentang alam yang teramat gersang di tengah Sahara,” kata Mattingly.

Mattingly si arkeolog dari University of Leicester, Inggris, adalah budak padang pasir: “Saya telah bekerja di Libya selama 30 tahun dan sejak awal saya sudah terkesima oleh bentangan alamnya.” Banyak arkeolog yang lain juga telah menemukan nasib mereka. Mereka menjadi kecanduan akan cahaya benderang dan kaki langit yang hampa. Jika pada umumnya orang lain melihat tanah gundul, mereka menemukan kejelasan.

Hugh Clapperton si penjelajah asal Skotlandia terjun ke gurun pasir Libya barat daya antara 1822 dan 1825. Ia adalah utusan Kerajaan Inggris dengan persona tenaga uap, mesin pintal, dan armada laut Inggris Raya. Pada 7 November 1824, Clapperton tengah melintasi tanah kering tatkala dia bertemu dengan seorang budak perempuan yang ditinggalkan ”untuk mati di jalan hari ini, kepalanya bengkak parah, tak mampu berjalan, tidak dapat berpikir jernih.” Clapperton juga menemukan salah satu pelayan si majikan meringkuk di sebelah perempuan, ”menungguinya hingga si perempuan meninggal, bukan untuk menguburnya, tetapi untuk mengambil kain rombeng yang dipakai perempuan tersebut.”

Si pelayan tidak mampu lagi menunggang unta; ia terlalu lemah untuk berpegangan. Clapperton pun berpikir apabila ia bertahan di sana lebih lama lagi, ia pun akan ikut mati.

Angin terasa dingin, catatnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar